Oktober 05, 2008

Siapa Jokpin?


Syahdan, di Sukabumi pada 11 Mei 1962 dilahirkan seorang pemuda. Joko Pinurbonamanya, yang kemudian di kemudian hari suka diakronimkan sebagai Jokpin. Di masa kecilnya, konon ia pernah sakit-sakitan. Tak heran kalau saat dewasa tubuhnya kurus atau lebih tepatnya disebut kerempeng.

Saat remaja ia masuk seminari, belajar Kitab dan banyak hal tentang Ketuhanan. Saat itu pula, pemuda berwajah tirus itu berjumpa dengan puisi--yang terimpit dalam tumpukan buku-buku di perpustakaan. Di sana ia mendapati puisi sebagai kekuatan dahsyat yang tak terkira. Yang mampu membuatnya tertegun dan kata-katanya menembus relung-relung sanubarinya. Sejak itu, puisi mendarah daging dalam dirinya. Pada 1987, ia lulus dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Sempat mengajar di almamaternya sebentar. Lalu mulai 1992, bekerja di Kelompok Gramedia.

Puisi yang telah jadi darah dagingnya terus memberondongkan karya bermutu. Celana (1999), buku kumpulan puisi pertamanya, memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001; buku puisi ini kemudian terbit dalam bahasa Inggris berjudul Trouser Doll (2002). Sih Award 2001 diterimanya untuk puisi Celana 1-Celana 2-Celana 3.

Masih pada tahun yang sama, ia dinyatakan sebagai Tokoh Sastra Pilihan Tempo 2001. Buku puisinya Di Bawah Kibaran Sarung (2001) mendapat Penghargaan Sastra Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2002. Tahun 2005 ia menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004). Puisi-puisinya yang lain dibukukan dalam Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Pacar Senja: Seratus Puisi Pilihan (2005), Kepada Cium (2007), dan Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung: Tiga Kumpulan Puisi (2007). Sebagai penyair jempolan, layak kalau kemudian ia sering diundang baca puisi di berbagai forum sastra, antara lain Festival Sastra Winternachten di Belanda (2002). karyanya juga telah diterjemahkan ke bahasa Jerman.

Sajak-sajaknya merupakan pemberontakan terhadap kemapanan arsitektur puisi kita. Mengobrak-abrik kebiasaan yang dilakukan penyair dalam mengolah kata menjadi puisi. Intinya, puisinya tak biasa! Secara substansi, perbandingan tak langsungnya barangkali seperti yang dulu dilakukan Chairil Anwar saat meneriakkan "Aku" ketika masih riuh ramainya kehidupan komunal dan individualitas sulit diterima.

Namun begitu bukan berarti puisinya kompleks sulit dicerna. Sebaliknya sangat sederhana. Karena bersifat naratif, puisinya lebih mirip cerita. Membuat anak kecil pun bahkan bisa mencerapnya secara mudah.

Read more...
Web Hosting