Juli 30, 2008

Puthut EA, Cerpenis Terbaik 2008

Selamat Mas Puthut! Meski pengumuman Anugerah Sastra Pena Kencana masih kurang sebulan lagi, tapi saya berani menjagokan karya sampeyan Di Sini Dingin Sekali keluar sebagai pemenangnya.

Berlebihan atau saya sedang kampanye? Tidak sama sekali. Sebelum memutuskan mengirim SMS untuk mendukung karya sampeyan, saya sudah membaca keseluruhan cerpen yang terkumpul dalam buku "20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008". Hasilnya, tak ada lain yang paling pantas saya dukung kecuali cerpen sampeyan.

Sebelum sampai ke halaman 157, tempat cerpen anda tinggal, saya sempat menjagokan Tentang Seorang Perempuan yang Mati Tadi Pagi-nya Agus Noor dan Hikayat Kura-Kura Berjanggut karya Azhari. Tapi begitu membaca karya sampeyan, saya tak bisa beranjak ke lain pilihan. Termasuk meski sudah membaca karya Seno Gumira Ajidarma, Cinta di Atas Perahu Cadik.

Apa yang paling saya suka dari cerpen sampeyan? Kesederhanaan. Ya, cerpen sampeyan simpel, mudah dipahami. Alurnya pun mudah dicerna. Bercerita tentang pengamatan seorang anak kelas tiga SD tentang hal-hal di sekitarnya dalam situasi pascagempa. Tentang dirinya, keluarga, dan orang di sekitarnya.

Lucu juga cerpen sampeyan Mas. Meski tak sampai membuat saya terbahak-bahak, tapi setidaknya mampu membuat bibir saya tersenyum. Muatan pesan yang sampeyan sampaikan sungguh menghunjam diri saya. Terlebih sampeyan mengemasnya dengan amat memikat!

Pantas kalau kemudian sampeyan saya tahbiskan sebagai cerpenis terbaik tahun ini. Tahun lalu, www.sriti.com juga menganugerahkan predikat yang sama kepada sampeyan. Lewat jajak pendapatnya, sampeyan jadi yang terbaik. Mengungguli nama lain seperti M Dawam Rahardjo, Gunawan Maryanto, Ratna Indraswari Ibrahim, Eka Kurniawan, dan pesohor cerpen lainnya.

Benarkah pilihan saya? Terlepas apakah nantinya sampeyan betul-betul jadi yang terbaik dalam Pena Kencana 2008, sebagai pribadi dan atas nama blog idemenulis.blogspot.com saya ucapkan selamat pada sampeyan sebagai cerpenis terbaik tahun ini. Saya dan banyak penikmat sastra lainnya pastinya selalu menunggu karya-karya sampeyan berikutnya...

Read more...

Juli 19, 2008

Seperti Main Piano

Ya! Seperti itulah ketika aku menulis. Selalu kubayangkan seperti main piano. Keyboard komputer yang kutekan ibaratnya tuts-tuts piano. Kutekan satu-persatu. Berurutan sesuai kata yang kurangkai.

Tak tahu benar kenapa aku mengibaratkannya seperti main piano. Tapi mungkin karena kesamaan menekan tuts-tuts. Di samping sejak dulu aku ingin bisa main piano. Lebih dari itu, tak ada alasan lain rasanya. Kalau kata para pemusik sih piano itu rajanya alat musik. Karena nadanya yang paling komplit. Bahkan bisa sampai delapan oktaf. Sementara, kata (baca: bahasa) kupikir juga medium yang paling sempurna untuk menyalurkan ide, gagasan, atau hasrat kita.

Dan memang tak sepenuhnya seperti main piano, sebab tak ada partitur yang kujadikan panduan menggerakkan tuts. Pedomanku lebih ke tempo lagu yang tengah kuputar. Bila tempo lambat, gerak jari-jemariku di atas keyboard ikut melambat. Sebaliknya, bila cepat, kalimat yang kurangkai bisa sampai dua-tiga paragraf setiap menit.

Bukan jumlah yang banyak memang. Karena aku sering lebih mementingkan keutuhan makna kalimat yang kutulis. Tak ada ambigu apalagi wagu makna. Aku tak ingin pembaca menjadi salah tangkap apa yang kumaksud.

Saking mementingkan keutuhan makna, aku sering mengambil jeda. Bukan untuk ambil nafas, tapi bertanya kepada kawan yang lebih paham atau membolak-balik kamus dan buku untuk mericek kata atau istilah yang kutulis. Karena itu aku sangat mementingkan pusat data. Selain perpustakaan pribadi, file-file penting juga kusimpan rapi dalam komputer agar mudah dicari saat kubutuhkan.

Kembali ke soal piano tadi, saat menulis aku sering bayangkan diriku seperti seorang pianist. Bisa yang tengah asyik bermain piano sendiri atau tengah mengadakan pertunjukan dengan disaksikan ribuan orang.

Walau disaksikan ribuan orang, aku tak gemetar—meski sifat asliku pemalu—juga tak khawatir ditertawakan orang. Yang aku rasakan cuma berkonsentrasi pada apa yang kutulis. Aku ingin memberikan pertunjukan terbaik bagi mereka. Yang membuat mereka merasa mendapat “sesuatu” dari apa yang kutulis.

Karena itu, aku seperti menyatu dengan apa yang tengah kutulis. Bukan, bukan kesetanan... Mungkin lebih tepatnya aku tengah trance. Aku ikuti saja irama pikiran dan jiwa yang kemudian diterjemahkan oleh jari-jariku dengan menari lincah di atas keyboard. Aku tumpahkan semuanya dalam tulisan. Saat asyik trance, aku bisa tidak memedulikan banyak hal. Termasuk tidur, mandi, makan. Pengecualiannya “ke belakang”, minum kopi, merokok, dan menemui-Nya.

Soal selera musik, sebetulnya aku suka segala jenis musik. Terutama jazz. Nah disitu repotnya. Tempo jazz yang lebih lambat, kadang membuat jari-jariku bergerak lambat. Sementara, tuntutan deadline memaksa tulisan cepat rampung. Kusiasati saja dengan memutar lagu bertempo cepat. Lagu-lagu yang memacu adrenalin seperti R and B biasanya yang kupilih. Itu serasa membuatku main piano di tempat clubbing dan jari-jariku ikut dugem.

Namun, musik jazz tetap menjadi kesukaannku. Terutama ketika tengah malam. Di situasi hening, jenis musik ini mampu membuatku tenang dan berpikir lebih jernih. Selain juga tak mengganggu waktu istirahat tetangga kiri-kanan.
Kalau dangdut, ehmm aku jarang setel. Bukan soal kampungan atau musik kelas bawah. Tapi irama gendangnya seperti menendang-nendang kepalaku, membuat sulit berkonsentrasi. Sehingga tak jadi mengetik dan malah bergoyang sungguhan.

Masih mending bila rock. Drum yang menjadi komando ketukannya masih bisa diterima hati. Apalagi jika liriknya bagus. Kadang bisa memunculkan inspirasi baru untuk tulisan.

Oh ya, dalam menulis, struktur atau komposisi tulisan kuberi banyak perhatian. Sebab, tulisan yang baik itu menurutku adalah yang serasi. Awalan, isi, dan penutup saling bertaut. Padu padan antar-kata atau antar-kalimat enak dibaca, tidak membosankan, dan meaningful. Sehingga membuat pembaca rela menyimak sampai titik terakhir. Seperti pertunjukan piano juga, ketika tuts terakhir ditekan, semua penonton berdiri dan memberi standing applause.

Plok...plok...plok...

Read more...

Juli 17, 2008

Mari Bangkit Menulis!

Seberapa besar minat kepenulisan di negeri ini? Seberapa besar bila dibandingkan dengan nafsu konsumtif-kapitalistik yang menjangkiti kehidupan masyarakat kita?

Saya kaget bin kagum setengah miris saat membaca sebuah koran hari ini. Tahun ini penjualan otomotif di negeri ini mencapai hampir 20 ribu. Volume tersebut naik dua kali lipat dibanding tahun lalu.

Sementara, di dunia perbukuan, tahun 2007, kita baru bisa menghasilkan mencapai 12.000 judul buku. Kalau dirata-rata, setiap tahun, negeri kita ini hanya mampu menghasilkan 10 ribu judul buku, yang 90 persennya merupakan karya terjemahan.

Ada apa ini? Kenapa bisa muncul anomali yang menyedihkan seperti ini? Di tengah krisis ekonomi yang konon belum berlalu plus kenaikan sejumlah harga barang yang didorong naiknya BBM, pasar otomotif tumbuh subur sedang pasar perbukuan tidk makin baik. Kondisi serupa setali tiga uang dengan tumbuhnya mal-mal baru yang pertumbuhannya saya kira lebih cepat dari cendawan malah. Sedang toko buku? Kalaupun mungkin jumlahnya bertambah, tapi pertumbuhannya saya sebut “malu-malu kucing”. Bahkan, yang saya amati, beberapa toko buku malah kolaps.

Ah mungkin tidak relevan membandingkan dunia buku dan otomotif. Sebab keduanya ranah yang berbeda. Tetapi kalau merujuk pada pasar yang sama-sama manusia (baca: masyarakat kita), kondisi ironis bin menyedihkan itu yang bakal terpampang.

Tapi baiklah mari kita bandingkan dalam ranah yang sama. Di Jepang, setiap tahunnya menerbitkan 60.000 judul buku—kita cuma seperenamnya. Secara volume, Jepang setiap tahun mampu memproduksi 715 juta eksemplar. Sedang negeri kita cuma tiga juta eksemplar.

Lagi-lagi kita kalah telak. Mau dibandingkan dengan cara apapun, sekali lagi, situasi menyedihkan seperti di atas yang muncul. Seharusnya, Indonesia berpenduduk 200 juta jiwa lebih, bisa jauh lebih banyak produksi bukunya. Namun sayangnya seperti itulah realitasnya.

Patut kita akui, kondisi perbukuan negeri ini masih jauh tertinggal dari negara-negara lain. Dan hal itu, terlepas dari faktor daya beli, menurut saya justru persoalan utamanya terletak pada sangat sedikitnya jumlah penulis. Karena sebaik apapun kondisi pasar, bila tak ada yang menulis, maka buku atau jenis tulisan apapun tak pernah tercipta.

Tak ada angka pasti berapa sebetulnya jumlah penulis di negeri ini. Akan tetapi bila merujuk dari jumlah buku yang diterbitkan, anggaplah kita punya seribu penulis yang setiap tahunnya melahirkan satu buku. (Ingat dari 10 ribu judul, 90 persennya merupakan karya terjemahan).
Tapi sebegitu sedikitkah? Baiklah. Kita naikkan saja jadi dua kali lipatnya menjadi dua ribu penulis. Namun, sekali lagi, bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ratusan juta, alamak…lagi-lagi kita harus mengelus dada.

Itu baru dari soal jumlah penulis. Belum bicara mengenai kualitas penulis. Boleh saja kita berbangga punya Habiburrahman El-Shirazy dengan Ayat-Ayat Cinta-nya. Atau Andrea Hirata—yang saat pertama kali dengar namanya saya kira bukan orang Indonesia—lewat tetralogi Laskar Pelangi. Atau mungkin juga Tung Desem Waringin—yang mungkin lebih pas kalau disebut sebagai pakar marketing daripada penulis—dengan Marketing Revolution.

Tapi mana pernah ada karya tulis bangsa ini yang mampu berbicara di tingkat dunia? Meraih Nobel Sastra misalnya. Mungkin anda bisa bilang Almarhum Pramudya Ananta Toer yang karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa. Tetapi, beliau pun hanya “cukup” sampai dinominasikan saja. Dan setelahnya, saya rasa belum ada yang bisa mendekati kaliber beliau.

Daripada susah-susah membicarakan soal kualitas, hal pertama yang perlu ditangani menurut saya adalah pada peningkatan jumlah penulis. Karena begitu jumlah penulis meningkat, maka tingkat kompetisipun meningkat. Harapan akhirnya, mutu atawa kualitas penulis turut meningkat.

Menurut saya, salah satu jalan yang bisa meningkatkannya, selain lewat berbagai kompetisi penulisan maupun peningkatan jumlah penerbit, adalah lewat sekolah. Karena sekolah dalam berbagai tingkatannya keberadaaanya menjangkau sampai seluruh pelosok Nusantara. Usul saya, sekolah bisa dijadikan sebagai tempat penyemaian penulis muda. Terlebih memang, sekolah sumber “peradaban”-nya berasal dari tulisan. Maksudnya, sekolah tak bisa dilepaskan dari dunia tulisan

Kondisi saat ini, sekolah mungkin lebih disibukkan dengan urusan pembelajaran dan kelulusan siswa-siswinya. Sehingga hal-hal yang mungkin tak terkait langsung dengan kedua hal tersebut, relatif dikesampingkan. Hal yang wajar memang.

Namun bila kita ingin mengubah kondisi buruk di atas, sekolah bisa dijadikan sebagai salah satu penggeraknya. Karena dengan sebaran yang luas, serta jumlah anak didik yang sangat besar, secara cepat jumlah penulis bisa ditingkatkan dnegan signifikan.

Konkretnya? Bisa dengan optimalisasi media siswa, entah majalah dinding, media cetak, atau blog. Memang benar, sejauh ini sebagian sekolah mungkin sudah memiliki medianya. Namun, saya rasa belum optimal. Faktornya bisa bermacam-macam. Seperti proses pembuatan media yang asal-asalan, kurangnya dukungan sekolah, dan sebagainya. Satu jalan yang saya kira bisa memecahkannya adalah dengan menciptakan hubungan antara penerbit dengan media sekolah. Jelasnya, penerbit dan sekolah bekerjasama untuk mendidik serta menerbitkan karya siswa.

Para siswa dididik dengan pelajaran penulisan. Serta iming-iming diterbitkannya karya mereka yang tentunya sesuai standar yang telah ditetapkan. Dengan begitu, minat menulis pasti meningkat. Otomatis, jumlah penulis negeri ini pun turut terdongkrak. Lainnya? Dengan melakukan hal yang sama kepada para guru. Saya yakin, bila ini dilakukan secara benar dan berkelanjutan, muaranya bukan saja kepada meningkatnya volume buku, tapi peningkatan daya saing bangsa ini.

Mau tak mau upaya peningkatan kuantitas dan kualitas kepenulisan negeri ini harus lebih ditingkatkan. Sebab dari situlah kemajuan dan peradaban suatu bangsa dibangun. Lewat pena, kita bisa bangkit dan berjaya. Saya yakin itu…

Read more...
Web Hosting